Pendidikan Indonesia, Apa Kabarmu?

Sumber: Istimewa

Sumber: Istimewa

Lama sudah jariku ini tak menyentuh keyboard netbook kesayangan untuk sekadar mencurahkan keresahan dan pikiran. Tumpukan dalih seakan menghambat segala ide yang sebenarnya berseliweran setiap hari. Tapi, untuk hari ini kukuatkan diri untuk kembali berbagi melalui serangkaian kata, kalimat, dan paragraf berikut. Kenapa hari ini? Tahulah pasti semua orang Indonesia bahwa 2 Mei telanjur dianggap sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Sengaja kupilih diksi “telanjur” karena yang kutahu memang ada semacam kritik sejarah yang menggugat ketetapan 2 Mei (tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara) sebagai Hardiknas. Mengapa bukan tanggal lahir KH Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah yang nyata-nyata lebih dahulu memprakarasi kegiatan pendidikan formal pertama kalinya di Indonesia? Tapi ya sudahlah, sepertinya aku belum bisa mengurainya panjang lebar saat ini. Terlepas dari ketidaksepakatanku tentang penentuan Hardiknas ini, kurasa tetap perlu sekarang juga kutuangkan keresahan hati ihwal pendidikan negeri ini. Paling tidak ini adalah caraku menyapa. Ya, aku hanya ingin menyapa dunia pendidikan Indonesia dan menanyakan kabarnya.

Continue reading

KAMMI di Mataku; Refleksi Milad ke-17 KAMMI

milad17kammiSenin (29/3/2015) lalu Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menjejaki usia 17 tahun. Sweet seventeen. Begitu banyak orang menyebut angka tersebut. Namun, saya yakin bukan hal berbau “roman picisan” yang hendak dikawal KAMMI di usianya itu. Sebaliknya, usia 17 tahun agaknya hendak dipancang sebagai milestone penguat untuk bisa keluar dari ego keakuan dalam diri KAMMI. Terbukti, panitia Milad ke-17 KAMMI tak tanggung-tanggung mencanangkan “Wujudkan Cita-cita Kemerdekaan Indonesia” sebagai tema Milad tahun ini. Sebagian kalangan barangkali akan menilai tema Milad ke-17 itu terlalu utopis. Tapi, saya berbaik sangka bahwa panitia memilih lebih percaya kepada kekuatan mimpi besar ketimbang terkungkung dalam penyakit inferiority complex. Tanpa berpanjang lebar ihwal pernak-pernik Milad tersebut, kali ini saya hanya ingin berbagi secuil refleksi berupa kesan dan harapan terhadap organisasi mahasiswa yang saya geluti sejak 2010 ini.

Continue reading

Warna KAMMI untuk Kita

warna kammi

Hari ini genap sudah usia Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menjadi 14 tahun menurut hitungan kalender Miladiyah/ Masehi. Beragam aksi dan karya terlahir dari para kader KAMMI se-antero negeri ini. Mulai dari penyampaian suara umat melalui aksi turun ke jalan, aksi opini dengan tulisan, aksi sosial berwujud desa binaan, bakti sosial, mengajar, dan lain-lain.

Secara  psikologis, usia 14 tahun pada manusia itu memang masuk kategori remaja. Di mana salah satu karakter khasnya ialah adanya keinginan yang meletup-letup. Upaya mencari jati diri pun kerap dilekatkan dengan usia remaja.  Agaknya KAMMI pun tak jauh berbeda dengan itu. Patutnya momen 14 tahun KAMMI ini bisa dijadikan tonggak untuk mulai mengukuhkan bagaimana warna dari jati diri dan karakter KAMMI sebenarnya. Warna khas itulah yang kemudian harus sekuat mungkin tetap diperjuangkan jika memang masih dirasa relevan dengan kebutuhan umat nanti.

Continue reading

Ekuilibrium Asa

imbang

Mbok ya, kamu konsentrasi sekolah aja. Yang membuat kamu diajeni (dihormati) itu pendidikan, lho!” tutur seorang ibu kepada anak satu-satunya.

“Kamu itu sekolah untuk mencari ilmu, bukan untuk berorganisasi sampai lupa sekolah” ujar seorang ayah kepada putranya yang jeblok nilai rapornya.

Dan banyak ragam ungkapan lain senada dengan dua contoh di atas. Semua itu umumnya disampaikan orang tua atau pun pihak yang menaruh harapan (asa) kepada orang yang jadi lawan bicaranya. Itu bukan bentuk intervensi negatif, justru di sana terlihat kepedulian tinggi orang tua kepada anaknya.

Tiap kita memiliki harapan yang ingin diraih. Pun begitu dengan orang tua kita. Asa orang tua terhadap anaknya tentu bukan hal yang negatif.  Lalu, kenapa hal ini terkadang menjadi masalah tersendiri? Nyatanya, ada sebagian kita yang kemudian berhenti dari aktifitas tertentu lantaran tak direstui orang tua. Padahal, dalam hati kita masih ingin berkontribusi di dalamnya.

Beda perspektif. Itulah sebenarnya inti masalahnya. Masing-masing kita terkadang memakai “kacamata” berlainan dengan orang lain dalam menilai suatu hal. Ketika orang tua menginginkan anaknya berprestasi selama menjadi pelajar atau mahasiswa, ini lumrah. Tafsiran “prestasi” itulah yang harus lebih dijelaskan maknanya. Begitu pula dengan persoalan lainnya.

Continue reading

Mari Membaca

cinta baca

Mengingat kembali ayat Al-Qur’an yang pertama turun mungkin memalukan bagi kita. Mengapa? Tak ada yang salah dengan ayat tersebut. Justru kesalahan ada pada kita. Kita sama-sama hafal bahwa dengan eksplisit Allah SWT pertama kali berfirman:

“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia. Dia yang mengajarkan dengan qalam. Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu” (TQS Al-‘Alaq: 1-5)

Buya Hamka dalam “Tafsir Al-Azhar”-nya mengomentari ayat pertama dengan mengatakan, Dalam waktu pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya (http://tafsir.cahcepu.com).

Continue reading

Ayo Sadarin Mahasiswa!


Upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardikas) tiap tahun ramai digelar di berbagai tempat. Berbagai diskusi, seminar, dan talkshow juga biasa diselenggarakan berbagai pihak. Semua itu tentu menjadi sia-sia jika masalah yang ada lantas dilupakan pasca diselenggarakannya selesainya acara-acara tersebut. Ucapan manis dalam bingkai sambutan yang dibacakan saat upacara menjadi uap, entah pergi ke mana. Berbagai hal yang dibicarakan dalam diskusi, seminar, dan talkshow pun sebatas retorika di lisan saja. Jangan heran jika ke depan jumlah pengangguran berpendidikan, egoisme para penyandang gelar pendidikan, degradasi moral kaum pendidik, perilaku KKN, dan setumpuk masalah lain masih menjadi PR yang tak kunjung terselesaikan.

 

Dua masalah pertama yang penulis sebut sebelumnya sepertinya layak kita kaji bersama. Kedua masalah tersebut, menurut penulis, sebenarnya saling berkaitan satu sama lain. Adapun masalah dimaksud ialah jumlah pengangguran berpendidikan dan egoisme para penyandang gelar pendidikan. Banyak perspektif yang bisa dipakai guna mengurai benang dua permasalahan ini. Penulis akan menyorotinya dari sisi bagaimana seharusnya mahasiswa menyikapi dua masalah tersebut. Mengapa mahasiswa? Karena merekalah yang pada masanya nanti akan dielukan keberadaannya oleh masyarakat umum sebagai problem solver. Tidak mungkin mereka menyelesaikan masalah jika tak paham masalah tersebut. Lebih parah lagi, jika masalah tersebut justru melilit mereka. Sehingga menjadi penting untuk menyadarkan kepada para mahasiswa betapa pentingnya memahami dan mencari jalan keluar dua masalah tersebut. Continue reading

Bibit Korupsi

Menyontek. Itulah salah satu perbendaharaan kata yang sepertinya tidak asing lagi di dunia pendidikan Indonesia. Ketika kita ingin survey, amat mungkin sedikit sekali persentase siswa yang tak pernah menyontek walaupun sekali sepanjang perjalanan studinya. Walaupun tentu saja kadar menyonteknya pun pasti berbeda-beda. Hal yang melatar belakangi praktik tak jujur ini pun beraneka ragam. Beberapa dari mereka ada yang ‘terpaksa’ melakukannya karena belum menguasai materi tertentu. Tak sedikit pula yang sudah sampai tahap ‘ketagihan’, sehingga belum puas rasanya jika belum mencocokkan jawabannya dengan jawaban temannya. Namun, kita tidak akan berkutat pada alasan atau seberapa jauh intensitas menyontek siswa Indonesia saat ini. Menurut penulis, hal yang lebih menarik untuk diperhatikan ialah pertanyaan: Bagaimana bisa kebiasaan menyontek ini seakan menjadi borok bagi dunia pendidikan kita?

Dari sebuah riset yang pernah dilakukan tim akademik Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2009 tentang kecurangan mahasiswa, diperoleh 58 persen responden ptimi pernah melakukannya di bangku SD, 78 persen di SMP, 80 persen di SMA, dan 37 persen setelah memasuki perguruan tinggi. Memang ini hanyalah salah satu contoh yang sepertinya belum merepresentasikan Indonesia secara umum. Akan tetapi, bila kita gali lebih dalam lagi, penulis kira persoalan meyontek ini seperti fenomena gunung es. Artinya, apa yang terjadi sebenarnya (realita) masih jauh lebih banyak dari apa yang saat ini diketahui. Hipotesis ini didukung oleh masih banyaknya kasus pembocoran soal ujian di banyak tempat di nusantara ini. Bahkan di lingkungan terdekat kita pun sepertinya tidak sulit untuk mencari bukti penguat hipotesis ini.

Continue reading