Ayo Sadarin Mahasiswa!


Upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardikas) tiap tahun ramai digelar di berbagai tempat. Berbagai diskusi, seminar, dan talkshow juga biasa diselenggarakan berbagai pihak. Semua itu tentu menjadi sia-sia jika masalah yang ada lantas dilupakan pasca diselenggarakannya selesainya acara-acara tersebut. Ucapan manis dalam bingkai sambutan yang dibacakan saat upacara menjadi uap, entah pergi ke mana. Berbagai hal yang dibicarakan dalam diskusi, seminar, dan talkshow pun sebatas retorika di lisan saja. Jangan heran jika ke depan jumlah pengangguran berpendidikan, egoisme para penyandang gelar pendidikan, degradasi moral kaum pendidik, perilaku KKN, dan setumpuk masalah lain masih menjadi PR yang tak kunjung terselesaikan.

 

Dua masalah pertama yang penulis sebut sebelumnya sepertinya layak kita kaji bersama. Kedua masalah tersebut, menurut penulis, sebenarnya saling berkaitan satu sama lain. Adapun masalah dimaksud ialah jumlah pengangguran berpendidikan dan egoisme para penyandang gelar pendidikan. Banyak perspektif yang bisa dipakai guna mengurai benang dua permasalahan ini. Penulis akan menyorotinya dari sisi bagaimana seharusnya mahasiswa menyikapi dua masalah tersebut. Mengapa mahasiswa? Karena merekalah yang pada masanya nanti akan dielukan keberadaannya oleh masyarakat umum sebagai problem solver. Tidak mungkin mereka menyelesaikan masalah jika tak paham masalah tersebut. Lebih parah lagi, jika masalah tersebut justru melilit mereka. Sehingga menjadi penting untuk menyadarkan kepada para mahasiswa betapa pentingnya memahami dan mencari jalan keluar dua masalah tersebut.
Berkaitan dengan masalah pertama, sebuah surat kabar pernah menyajikan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2010 yang meyebutkan jumlah pencari kerja dari lulusan SD hingga perguruan tinggi tercatat sebanyak 4,12 juta. Padahal jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan berbagai perusahaan hanya 2,38 juta. Artinya, sekitar 2 juta orang menganggur karena tidak kebagian lapangan pekerjaan. Hingga kini kondisi tersebut dimungkinkan belum mengalami perubahan positif yang signifikan, mengingat kompetisi memperebutkan lapangan kerja nampak semakin sengit.

Kaitannya dengan mahasiswa, hendaknya mimpi banyak mahasiswa Indonesia untuk menjadi pegawai tidak terus-menerus dipelihara. Sebaliknya, mahasiswa sebaiknya mulai berpikir untuk menjadi entrepreneur atau wirausahawan nantinya. Perlu dicatat, bahwa wirusaha tak berarti hanya berdagang an sich. Menurut Robbin & Coulter, wirausahawan ialah seseorang atau kelompok menggunakan upaya terorganisir dan sarana untuk mencari peluang menciptakan nilai dan tumbuh dengan memenuhi keinginan dan kebutuhan melalui inovasi dan keunikan, tidak peduli apa sumber daya yang saat ini dikendalikan.

Upaya menyadarkan mahasiswa dari buaian mimpi menjadi pegawai patut terus dilakukan. Tak hanya berkaitan dengan kemungkinan bertambahnya jumlah pengangguran, idealisme mahasiswa sekaligus pemuda yang menghendaki bangsanya makmur akan luntur jika mereka masih menikmati mimpi tersebut. Seorang sosiolog, David McClelland, menyatakan suatu negara bisa makmur bila ada pengusaha paling sedikit 2% dari jumlah penduduknya. Ironisnya, hingga kini tercatat jumlah wirausahawan hanya 0,24% dari jumlah penduduk Indonesia. Demikian yang disampaikan Kepala Perwakilan BI Serang Banten, Andang Setyobudi kepada salah satu media online (12/4/2012). Sumber lain menyatakan baru 0,18% jumlah wirausahawan dari total sekitar 237 juta jiwa penduduk Indonesia. Maka, relakah kita sebagai mahasiswa memperkecil peluang bangsa kita untuk maju? Di sinilah letak keterkaitan masalah pengangguran dengan egoisme para penyandang gelar akademik. Sebagian mahasiswa yang acuh tak acuh dengan masalah pertama ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari masalah kedua.

Adapun mengenai masalah kedua, yaitu egoisme para penyandang gelar akademik belakangan laris disinggung seiring larisnya wacana pendidikan karakter. Selain disinyalir bakal menghambat laju kemajuan karena tak peduli sesama, secara filosofis ‘kebsahan’ gelarnya pun patut dipertanyakan. Bukankah pendidikan yang mereka tempuh itu hakikatnya tidak hanya berorientasi pada nilai dan gelar? Mulai dari UUD 1945, UU, dan beberapa peraturan serta nilai lain yang dianut secara langsung dikhianati oleh lulusan perguruan tinggi nan egois itu. Sehingga, ucapan semisal “Itu kan bukan bidang kita, ngapain ikut-ikutan mikirin kenaikan BBM” dan ucapan lain yang senada patut dihindari sejak dini oleh mahasiswa.

Sebagaimana yang dikatakan oleh John Luther (dalam Husaini, 2010) bahwa karakter (termasuk di dalamnya ialah “kepedulian” sebagai lawan dari “egois”) harus kita bangunnya sedikit demi sedikit dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras. Artinya, seperti sudah dikatakan sebelumnya, sejak berstatus mahasiswa hendaknya rasa peduli terhadap sesama perlu dibiasakan. Sangat tidak pantas nampaknya jika gelar mentereng pasca wisuda tak dibarengi dengan rasa peduli yang tinggi. Bagaimana untuk mengatasi masalah ini? Salah satu yang direkomendasikan oleh banyak kalangan ialah dengan aktif berorganisasi dan bersosialisasi. UKM, organisasi ekstra kampus, komunitas hobi, dan banyak segmen kegiatan lain bisa dimanfaatkan demi mencapai tujuan itu. Mahasiswa hendaknya menghapus kosakata “kupu-kupu” alias “kuliah-pulang, kuliah-pulang” dalam ‘kamus’ kehidupannya.

Namun demikian, segala upaya kita untuk menyadarkan mahasiswa akan kedudukan sebenarnya bukanlah upaya mudah. Semua harus ikut berperan sesuai posisi dan kemampuannya. Pun usaha ini tak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Perlu konsistensi dari para penyeru kebenaran dan kebaikan supaya tidak lelah menyeru. Akhirnya, ketika para kaum terdidik sudah mampu keluar dari kedua masalah ini, modal untuk memajukan agama, bangsa, dan negara semakin besar.

RM, 10 Jumadil Akhir 1433 H/ 1 Mei 2012 M      


Leave a comment